Rabu, 16 Januari 2013

pernikahan Ali dan Fathimah

Ali dan Fatimah
Radhiallahu ‘Anhuma
Fatimah adalah putri
termuda Rasulullah
shallallohu ‘alaihi
wasallam dan bagian
dari beliau dari ibu
yang mulia wanita
shalihah Khadijah binti
Khuwailid,
bersuamikan Ali bin
Abu Thalib yang
menikahinya dalam
rentang waktu antara
perang Badar dan
Uhud tepatnya di
bulan Ramadhan
tahun kedua hijriyah,
seorang pahlawan
mujahid sepupu
Rasulullah, orang
pertama yang masuk
Islam dari kalangan
pemuda, seorang laki-
laki yang menyintai
Allah dan rasulNya dan
dicintai oleh Allah dan
rasulNya, Allah
memberi kemenangan
melaluinya, Amirul
Mukminin salah
seorang khulafa`
rasyidin yang dijamin
surga oleh mertuanya.
Inilah sebagian dari
keutamaan suami
pilihan Fatimah putri
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam yang
menjadi acuan baginya
dalam memilihnya
menjadi suaminya.
Ali bin Abu Thalib
hidup sejak kecil dalam
kafalah Rasulullah
shallallohu ‘alaihi
wasallam, beliau
melakukan ini sebagai
ungkapan terima kasih
kepada bapaknya Abu
Thalib yang juga
paman beliau atas
pengasuhannya
terhadap beliau sejak
kecil dan
pembelaannya
terhadap beliau ketika
dewasa di samping
untuk meringankan
Abu Thalib yang
berharta minim tetapi
berkeluarga besar.
Dengan latar belakang
demikian maka bisa
dikatakan bahwa Ali
bukan laki-laki
berharta pada saat dia
menikah dengan
Fatimah, demi
membayar maskawin
kepada istrinya dia
menyerahkan baju
perang yang
merupakan harta satu-
satunya sekaligus
senjatanya dalam
menerjuni berbagai
macam peperangan.
Imam Abu Dawud dan
an-Nasa`i
meriwayatkan dari
Ibnu Abbas berkata,
ketika Ali menikah
dengan Fatimah,
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
bersabda kepadanya,
“Berikanlah sesuatu
kepadanya.” –Maksud
beliau sebagai mahar
pernikahan- Ali
menjawab, “Aku tidak
punya apa-apa.” Nabi
shallallohu ‘alaihi
wasallam bertanya,
“Lalu di mana baju
perang huthamiyah
milikmu.” Hadits ini
dishahihkan oleh al-
Hakim. Yang dimaksud
baju perang
huthamiyah adalah
penisbatan kepada
Huthamah bin
Muharib, salah satu
marga dalam Bani
Abdul Qais pembuat
baju perang. Ada yang
berkata, baju perang
disebut dengan
huthamiyah karena ia
tuhatthimu
(mematahkan atau
menghancurkan)
pedang karena
kekuatannya.
Selanjutnya
bagaimana kehidupan
pasangan suami istri
ini? Imam al-Bukhari
memaparkan dalam
shahihnya sepenggal
kisah dari kehidupan
Ali dengan Fatimah.
Silakan pembaca
menilai dan
menyimpulkan setelah
membacanya.
Dari Ali bin Abu Thalib
bahwa Fatimah
mengadukan beratnya
penggilingan kepada
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam yang
meninggalkan bekas
padanya, pada saat itu
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
sedang mendapatkan
tawanan perang,
Fatimah pergi kepada
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam tetapi
dia tidak bertemu
dengan beliau, dia
bertemu Aisyah,
Fatimah mengatakan
hajatnya kepada
Aisyah, ketika
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
pulang Aisyah
mengabarkan
kedatangan Fatimah
kepada beliau. Ali
berkata, “Nabi
shallallohu ‘alaihi
wasallam datang
kepada kami
sementara kami
sedang bersiap-siap
untuk tidur, aku
hendak berdiri, tetapi
beliau bersabda,
“Tetaplah kalian
berdua di tempat.”
Lalu beliau duduk di
antara kami, sampai
aku merasakan
dinginnya kedua kaki
beliau di dadaku,
beliau bersabda,
“Maukah kalian berdua
aku ajari apa yang
lebih baik dari apa
yang kalian berdua
minta kepadaku, jika
kalian berdua hendak
tidur, bertakbirlah tiga
puluh empat kali,
bertasbihlah tiga puluh
tiga kali dan
bertahmidlah tiga
puluh tiga kali, ia lebih
baik bagi kalian
berdua daripada
pembantu.”
Al-Bukhari
meriwayatkan no.
3110, dari Miswar bin
Makhramah bahwa Ali
bin Abu Thalib
melamar putri Abu
Jahal sementara dia
masih beristri Fatimah,
Makhramah berkata,
maka aku mendengar
Rasulullah berkhutbah
di atas minbarnya ini
tentangg masalah
tersebut, saat itu aku
sudah dewasa, beliau
bersabda,
“Sesungguhnya
Fatimah adalah bagian
dariku, aku
mengkhawatirkannya
difitnah pada
agamanya.” Kemudian
Nabi menyebutkan
hubungan pernikahan
beliau dengan Bani
Abdu Syams, beliau
menyanjung mereka
dalam hubungan
pernikahan tersebut.
Beliau bersabda, “Dia
berbicara kepadaku
dan dia berbicara
benar kepadaku, dia
berjanji padaku dan
dia memenuhi janji itu.
Sesungguhnya aku
tidak mengharamkan
yang halal dan tidak
menghalalkan yang
haram, akan tetapi
demi Allah anak
Rasulullah tidak akan
pernah berkumpul
dengan anak musuh
Allah selamanya.”
Penulis
menyimpulkan
bahwa pilihan
Fatimah menikah
dengan Ali adalah
tepat dengan
mengacu kepada tiga
perkara:
Pertama, kesetiaan
yang diberikan oleh Ali
kepada Fatimah,
faktanya selama hidup
Fatimah, Ali hanya
beristrikan dia
seorang.
Kedua, fadha`il
(keutamaan-
keutamaan) yang
dimiliki Ali, istri
shalihah mana yang
tidak berbahagia dan
berbangga dengan
suami yang
mempunyai fadha`il
seperti yang dimiliki
oleh Ali.
Ketiga, output (hasil)
pernikahan dua orang
mulia ini, empat anak
shalih dan shalihah:
Hasan, Husain, Zaenab
dan Ummu Kultsum.
Dua anak yang
pertama adalah dua
orang sayid para
pemuda penduduk
surga, dari keduanya
lahir orang-orang
mulia, para imam
teladan.
Sumber:
Alsofwah.or.id
Publish ulang dan
edit tata bahasa oleh
www.KisahMuslim.co

pernikahan Ali dan Fathimah

Ali dan Fatimah
Radhiallahu ‘Anhuma
Fatimah adalah putri
termuda Rasulullah
shallallohu ‘alaihi
wasallam dan bagian
dari beliau dari ibu
yang mulia wanita
shalihah Khadijah binti
Khuwailid,
bersuamikan Ali bin
Abu Thalib yang
menikahinya dalam
rentang waktu antara
perang Badar dan
Uhud tepatnya di
bulan Ramadhan
tahun kedua hijriyah,
seorang pahlawan
mujahid sepupu
Rasulullah, orang
pertama yang masuk
Islam dari kalangan
pemuda, seorang laki-
laki yang menyintai
Allah dan rasulNya dan
dicintai oleh Allah dan
rasulNya, Allah
memberi kemenangan
melaluinya, Amirul
Mukminin salah
seorang khulafa`
rasyidin yang dijamin
surga oleh mertuanya.
Inilah sebagian dari
keutamaan suami
pilihan Fatimah putri
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam yang
menjadi acuan baginya
dalam memilihnya
menjadi suaminya.
Ali bin Abu Thalib
hidup sejak kecil dalam
kafalah Rasulullah
shallallohu ‘alaihi
wasallam, beliau
melakukan ini sebagai
ungkapan terima kasih
kepada bapaknya Abu
Thalib yang juga
paman beliau atas
pengasuhannya
terhadap beliau sejak
kecil dan
pembelaannya
terhadap beliau ketika
dewasa di samping
untuk meringankan
Abu Thalib yang
berharta minim tetapi
berkeluarga besar.
Dengan latar belakang
demikian maka bisa
dikatakan bahwa Ali
bukan laki-laki
berharta pada saat dia
menikah dengan
Fatimah, demi
membayar maskawin
kepada istrinya dia
menyerahkan baju
perang yang
merupakan harta satu-
satunya sekaligus
senjatanya dalam
menerjuni berbagai
macam peperangan.
Imam Abu Dawud dan
an-Nasa`i
meriwayatkan dari
Ibnu Abbas berkata,
ketika Ali menikah
dengan Fatimah,
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
bersabda kepadanya,
“Berikanlah sesuatu
kepadanya.” –Maksud
beliau sebagai mahar
pernikahan- Ali
menjawab, “Aku tidak
punya apa-apa.” Nabi
shallallohu ‘alaihi
wasallam bertanya,
“Lalu di mana baju
perang huthamiyah
milikmu.” Hadits ini
dishahihkan oleh al-
Hakim. Yang dimaksud
baju perang
huthamiyah adalah
penisbatan kepada
Huthamah bin
Muharib, salah satu
marga dalam Bani
Abdul Qais pembuat
baju perang. Ada yang
berkata, baju perang
disebut dengan
huthamiyah karena ia
tuhatthimu
(mematahkan atau
menghancurkan)
pedang karena
kekuatannya.
Selanjutnya
bagaimana kehidupan
pasangan suami istri
ini? Imam al-Bukhari
memaparkan dalam
shahihnya sepenggal
kisah dari kehidupan
Ali dengan Fatimah.
Silakan pembaca
menilai dan
menyimpulkan setelah
membacanya.
Dari Ali bin Abu Thalib
bahwa Fatimah
mengadukan beratnya
penggilingan kepada
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam yang
meninggalkan bekas
padanya, pada saat itu
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
sedang mendapatkan
tawanan perang,
Fatimah pergi kepada
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam tetapi
dia tidak bertemu
dengan beliau, dia
bertemu Aisyah,
Fatimah mengatakan
hajatnya kepada
Aisyah, ketika
Rasulullah shallallohu
‘alaihi wasallam
pulang Aisyah
mengabarkan
kedatangan Fatimah
kepada beliau. Ali
berkata, “Nabi
shallallohu ‘alaihi
wasallam datang
kepada kami
sementara kami
sedang bersiap-siap
untuk tidur, aku
hendak berdiri, tetapi
beliau bersabda,
“Tetaplah kalian
berdua di tempat.”
Lalu beliau duduk di
antara kami, sampai
aku merasakan
dinginnya kedua kaki
beliau di dadaku,
beliau bersabda,
“Maukah kalian berdua
aku ajari apa yang
lebih baik dari apa
yang kalian berdua
minta kepadaku, jika
kalian berdua hendak
tidur, bertakbirlah tiga
puluh empat kali,
bertasbihlah tiga puluh
tiga kali dan
bertahmidlah tiga
puluh tiga kali, ia lebih
baik bagi kalian
berdua daripada
pembantu.”
Al-Bukhari
meriwayatkan no.
3110, dari Miswar bin
Makhramah bahwa Ali
bin Abu Thalib
melamar putri Abu
Jahal sementara dia
masih beristri Fatimah,
Makhramah berkata,
maka aku mendengar
Rasulullah berkhutbah
di atas minbarnya ini
tentangg masalah
tersebut, saat itu aku
sudah dewasa, beliau
bersabda,
“Sesungguhnya
Fatimah adalah bagian
dariku, aku
mengkhawatirkannya
difitnah pada
agamanya.” Kemudian
Nabi menyebutkan
hubungan pernikahan
beliau dengan Bani
Abdu Syams, beliau
menyanjung mereka
dalam hubungan
pernikahan tersebut.
Beliau bersabda, “Dia
berbicara kepadaku
dan dia berbicara
benar kepadaku, dia
berjanji padaku dan
dia memenuhi janji itu.
Sesungguhnya aku
tidak mengharamkan
yang halal dan tidak
menghalalkan yang
haram, akan tetapi
demi Allah anak
Rasulullah tidak akan
pernah berkumpul
dengan anak musuh
Allah selamanya.”
Penulis
menyimpulkan
bahwa pilihan
Fatimah menikah
dengan Ali adalah
tepat dengan
mengacu kepada tiga
perkara:
Pertama, kesetiaan
yang diberikan oleh Ali
kepada Fatimah,
faktanya selama hidup
Fatimah, Ali hanya
beristrikan dia
seorang.
Kedua, fadha`il
(keutamaan-
keutamaan) yang
dimiliki Ali, istri
shalihah mana yang
tidak berbahagia dan
berbangga dengan
suami yang
mempunyai fadha`il
seperti yang dimiliki
oleh Ali.
Ketiga, output (hasil)
pernikahan dua orang
mulia ini, empat anak
shalih dan shalihah:
Hasan, Husain, Zaenab
dan Ummu Kultsum.
Dua anak yang
pertama adalah dua
orang sayid para
pemuda penduduk
surga, dari keduanya
lahir orang-orang
mulia, para imam
teladan.
Sumber:
Alsofwah.or.id
Publish ulang dan
edit tata bahasa oleh
www.KisahMuslim.co