Jumat, 08 Maret 2013

Rezeki Semua Mahluk Telah Allah Tanggung

Kisah Muslim – Diriwayatkan
bahwa seorang laki-laki duduk
di bawah pohon kurma.
Kemudian dia terlentang
dengan merebahkan
punggungnya. Tiba-tiba dia
melihat burung pipit yang di
mulutnya terdapat buah,
terbang dari pohon kurma yang
berbuah ke pohon lain yang
tidak berbuah. Dia melihat
burung tersebut melakukan ini
berulang-ulang. Dia pun heran
terhadapnya. Dia berkata dalam
hati, “Sungguh, saya akan
memanjat pohon ini, agar saya
tahu apa yang terjadi.” Lalu dia
memanjat pohon. Ternyata dia
melihat di dalam pelepah pohon
kurma ada seekor ular buta
yang membuka mulutnya.
Sedangkan burung pipit
menjatuhkan buah di mulut ular
tersebut. Dia pun merasa takjub
dengan kejadian ini dan berkata,
“Maha Benar Allah yang telah
berfirman:
“Dan tidak satu pun makhluk
bergerak (bernyawa) di bumi
melainkan semuanya dijamin
Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Diceritakan bahwa Ibnu Absyadz
an-Nahwi suatu hari sedang
berada di atap Masjid Jami Mesir.
Dia makan suatu makanan. Di
sisinya terdapat banyak orang.
Lalu seekor kucing mendatangi
mereka. Lantas mereka
memberikan sesuap makanan
kepada kucing tersebut. Kucing
itu pun mengambil dengan
mulutnya dan pergi
meninggalkan mereka.
Kemudian kucing tersebut
kembali lagi, lalu mereka
melemparkan kepadanya
makanan lain. Lantas kucing itu
pun melakukan hal yang sama
sampai berulang-ulang. Setiap
kali mereka melemparkan
makanan, kucing itu
mengambilnya, lalu pergi,
kemudian kembali lagi seketika.
Sehingga, mereka merasa heran
dengan kucing tersebut. Mereka
yakin bahwa makanan semisal
itu tidak mungkin dimakan si
kucing sendirian karena terlalu
banyak.
Ketika mereka penasaran
dengan kejadian tersebut, maka
mereka mengikuti kucing.
Ternyata mereka mendapatinya
naik ke atas dinding di atap
Masjid Jami, kemudian ia turun
ke tempat yang searah
dengannya di antara
reruntuhan. Ternyata di
dalamnya terdapat kucing lain
yang buta. Semua makanan
yang diambil si kucing dibawa
kepada kucing yang buta
tersebut dan diletakkan di
hadapannya, lalu kucing buta
memakannya. Mereka pun
takjub dengan kejadian ini. Lalu
Ibnu Absyadz berkata, “Jika
untuk binatang buta ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menundukkan kucing ini
untuknya. Kucing ini memenuhi
kecukupannya dan tidak
menghalangi rezekinya, maka
bagaimana mungkin Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyia-
nyiakan orang semisal aku?”
Sumber: Hiburan Orang-orang
Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata
dan Penuh Hikmah, Pustaka
Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com

Shafiyyah binti Abdul Muththalib Bibi Rasulullah

Shafiyyah binti Abdul Muththalib Bibi Rasulullah

Begitu banyak kemuliaan dan keutamaan yang disandangnya. Barangkali kemuliaan tertinggi yang sedang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya –setelah nikmat Iman dan Islam– adalah kedudukannya sebagai bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam—menurut pendapat yang kuat. Di samping itu. Dia adalah ibunda Hawari (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga. Cukuplah semua itu sebagai kemuliaan bagi Shafiyyah.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ. Namanya dalam sejarah makin berkilau laksana permata yang ditimpa cahaya matahari setelah para sejarawan menggelarinya sebagai wanita pertama yang berhasil membunuh orang musyrik.
Ia terlahir dari keluarga terpandang dan disegani. Ayahnya adalah Abdul Muththalib, seorang pembesar Quraisy dan ibunya adalah Halah binti Wahab, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ibu yang notabene juga dikenal sebagai keluarga terpandang. Pernikahannya yang pertama adalah dengan Al-Harits bin Harb bin Umaiyah, saudara Abu Sufyan pemimpin Bani Umaiyah. Setelah Al-Harits meninggal, saudara Ummul Mukminin Khadijah. Dan darinya terlahir Zubair dan Sa’ib.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seabgai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aro: 214)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada semua kerabatnya yang tua, muda, laki-laki, dan wanita. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke bukit Shofa dan berseru, “Wahai Fathmah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah sedikitpun, (Jika kalian menghendaki sesuatu dariku maka, red.) mintalah hartaku sesuka kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu’anha dalam bahtera Islam bersama putranya Zubair bin Awwam radhiallahu’anhu dan orang-orang pertama memeluk Islam, berlayar menghadang ombak dan gelombang dengan keimanan dan keyakinan menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, berjuang menghadapi penentangan kaum Quraisy. Kemudian dia hijrah bersama putranya ke Madinah, meninggalkan kampung halaman dan segala kemungkinan yang hakiki.
Dalam kehidupan Shafiyyah radhiallahu’anha ada dua peristiwa besar yang tak luput dari goresan tinta emas sejarah. Yang pertama tentang ketegaran dan kesabarannya pada Perang Uhud, dan yang kedua adalah keberanian dan kepahlawanannya pada Perang Khandaq. Marilah kita ikuti kisahnya satu persatu.

Peristiwa Pertama

Yaitu pada saat Perang Uhud. Walaupun telah berusia lebih kurang 56 tahun, Shafiyyah tetap bersemangat untuk bergabung bersama para wanita kaum muslimin untuk membantu merawat para mujahid yang terluka dan mengambilkan air minum, dan memperbaiki panah. Perang terus bergejolak, kemenangan awalnya berada di pihak kaum muslimin berbalik menjadi kekalahan disebabkan tidak taatnya sekelompok kaum muslimin kepada perintah Rasulullah.
Melihat kekalahan di barisan kaum muslimin, serta diserangnya Rasulullah oleh kaum musyrikin, akhirnya Shafiyyah pun ikut terjun ke medan perang dengan bersenjatakan tombak. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Shafiyyah mendekati jasad saudara kandungnya –Singa Allah-, Hamzah bin Abdul Muththalib, yang dibunuh oleh kaum musyrikin secara sadis, beliau memerintahkan kepada Zubair untuk menjauhkan ibunya dari tempat itu. Akan tetapi, dengarlah jawaban wanita mukminah yang sabar ini, “Mengapa (aku tidak boleh melihatnya), aku telah mendengar saudaraku telah dibunuh secara sadis, dan itu di jalan Allah…”
Subhanallah! Seakan ia ingin berkata, “Semua musibah yang terjadi, bila itu di jalan-MU ya Allah, aku rela dan ikhlas. Tak mengapa bagiku melihat jasad saudaraku yang dibelah perutnya, diambil jantungnya, hidung dan telinganya dipotong demi membela agama-Mu ya Allah, aku rela dan sabar, karena aku tahu bahwa Engkau akan menempatkannya pada sebaik-baik tempat di sisi-Mu.”
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Shafiyyah melihat jasad Hamzah dan menyolatinya.

Peristiwa Kedua

Yaitu ketika terjadinya Perang Khandaq. Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi berperang selalu meninggalkan para wanita, orang tua, dan anak-anak di tempat yang aman. Dan pada saat Perang Khandaq, mereka dititipkan di benteng Hasan bin Tsabit yang bangunannya terletak di tempat yang tinggi dan berpagar kuat. Di sanalah Shafiyyah dan para wanita yang lain dititipkan bersama Hasan sang pemilik benteng yang ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga mereka.
Di saat kaum muslimin sibuk di Khandaq, kaum Yahudi dari bani Quroizhah yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang dari mereka untuk memata-matai para wanita. Apabila tidak ada laki-laki yang melindungi mereka, maka mereka akan dijadikan tawanan, dan bila hal itu terlaksana maka akan menjadi pukulan hebat terhadap kaum muslimin.
Melihat ada orang yang mengendap-endap mendekati benteng, Shafiyyah berkata kepada Hasan bin tsabit, “Pergilah dan bunuh orang itu!” Hasan menjawab, “Wahai binti Abdul Muththalib, engkau tahu bahwa aku tidak berani melakukannya.”
Mendengar jawaban Hasan, Shaifyyah berpaling dan pergi mengambil sebuah tiang lalu keluar dari benten. Diam-diam ia memukul kepala orang Yahudi itu dengan tiang tersebut sampai mati. Kemudian ia kembali ke benteng dan menemui Hasan bin Tsabit sambil berkata, “Penggallah kepala Yahudi itu dan buanglah ke bawah!” Namun jawaban Hasan tetap sama seperti semula, “Aku tidak berani.”
Keluarlah Shafiyyah dan memenggal sendiri kepala Yahudi itu dan melemparnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding turun dari atas benteng, nyali orang-orang Yahudi menjadi ciut dan berkata, “Sekarang kami tahu bahwa orang ini (maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak akan meninggalkan keluarganya tanpa ada yang menjaga mereka.” Pada masa kekholifahan Umar bin Khaththab, yaitu tahun ke-20 H, Shafiyyah radhiallahu’anhu wafat dan dimakamkan di Baqi’ Ghargqad.
Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya di Surga Firdaus.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 11 Tahun ke-1 Jumadal Tsaniyah 1429/Juni 2008
Artikel www.KisahMuslim.com

Seorang Wanita Menasehati Sang Alim

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lalu dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan. Masalahnya, apakah sebuah nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin dilakukan oleh kaum wanita?
berikut ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat. Allahul-Muwaffiq.
Alkisah
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, alim, abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang yang sangat ia kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang tersebut, sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia, “Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi, manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?’ Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’ Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
Ibrah

Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).
Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).
Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh mengherankan perkara (urusan) orang muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah terjadi kecuali pada diri seorang muslim. (HR. Muslim. 14/280).
Beratnya cobaan sering menjadikan manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan, terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Bukan termasuk golongan kami seorang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i, 6/408).
Bersedih adalah suatu kewajaran terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi, janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).
Memang, setang sangatlah lihai dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. adz-Dzariyat: 55).
Hanya saja, cara kita memberikan nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam. Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar. Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat darinya.” (HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad, 26/123).
Mutiara Kisah

Beberapa pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:
1.      Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang selama ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap bersabar di kala terkena musibah.
2.      Kewajiban bagi para ahlu ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya. Dan hal ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tentunya hal itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.
3.      Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang benar.
4.      Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan, karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan. Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {25} وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim: 24-26).
5.      Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran. Terlebih apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 4 th. ke-8 1429 H/2008
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.
Kamis, 07 Maret 2013

Ujung Pakaianku Menyapu Jalanan ??

Penulis: Ummu Rumman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis
Kurdian, Lc dan Ustadz Abu
Ukkasyah Aris Munandar
Apa yang spontan terpikir di benak
kita ketika melihat seorang
muslimah yang memakai jilbab
besar dan cadar, ditambah lagi
pakaian yang lebar dan
panjangnya
sampai menyentuh tanah?? Oke,
kita tak sedang membahas
mengenai hukum jilbab dan cadar.
Insya Allah masalah ini dapat
ukhty
temukan pembahasannya pada
tulisan lain. Tapi kita tengah
berbicara tentang panjang pakaian
sang muslimah yang sampai
menyentuh tanah.
“Mbak, mau nyapu jalan ya? Itu lho
gamisnya kepanjangan, sampai ke
tanah.”
“Sudah lebar, panjang pula. Apa ga
kotor? Kalau kena najis di jalan
gimana? Ga sah donk kalau
pakaiannya dipakai sholat.”
“Iiiih… Jadi muslimah kok jorok
sih?
mbo’ panjangnya yang biasa aja.
Ga
usah berlebihan. Biar ga kotor…”
Ukhty, sering mendengar
komentar
semacam ini bukan?
Namun di sisi lain, kita temukan
pula para wanita yang masih
meremehkan masalah menutup
aurat. Kaki, bagian tubuh wanita
yang seharusnya ditutup justru
digembor-gemborkan agar
dijadikan salah satu daya pikat
kecantikan wanita. Semakin
pendek pakaian, semakin menarik,
begitu anggapan mereka. Bahkan
rok pendek dan rok mini menjadi
bagian dari fashion model baju
wanita. Wal iyaudzubillah.
Lalu, sepanjang apakah seharusnya
pakaian wanita menurut syariat??
Anjuran Bagi Wanita untuk
Memanjangkan Kain Pakaiannya
Ya Ukhty fillah, telah engkau
ketahui bahwa wajib hukumnya
bagi wanita untuk menutup
auratnya. Dan termasuk bagian
dari
aurat yang harus engkau tutup
adalah kakimu.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menerangkan mengenai
bagian bawah pakaian, Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha
berkata
kepada Rasulullah, “Lalu
bagaimana dengan pakaian
seorang wanita wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia
mengulurkannya satu jengkal,”
Ummu Salamah berkata, ‘Jika
demikian masih tersingkap ” Satu
hasta saja dan jangan lebih dari
itu,” jawab beliau. (HR. At Tirmidzi.
Hadits hasan shahih)
Dari hadits di atas dapat ditarik
dua
kesimpulan, yaitu:
Pertama, bahwa seorang wanita
wajib menutup kedua telapak
kakinya dengan pakaiannya.
Kedua, boleh hukumnya
memanjangkan pakaian bagi
seorang wanita dengan ukuran
sebagaimana telah dijelaskan
hadits di atas.
Dari mana diukurnya satu jengkal
di mana seorang wanita
memanjangkan pakaiannya?
Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama satu
jengkal itu diukur dari mana. Akan
tetapi, pendapat yang kuat -insya
Allah- satu jengkal adalah diukur
dari mata kaki. Karena inilah
Ummu
Salamah berkata, “Jika demikian,
kedua kakinya masih tersingkap,”
lalu Rasulullah memberikan
keringanan dengan satu hasta.
Para ulama telah bersepakat
bolehnya seorang wanita
memanjangkan pakaiannya di
bawah mata kaki. Hal ini berbeda
dengan kaum laki-laki di mana
mereka mendapat ancaman keras
bila memanjangkan pakaiannya di
bawah mata kaki.
Sebagaimana kaum laki-laki, kaum
wanita pun dilarang isbal. Akan
tetapi ukuran isbal pakaian wanita
berbeda dengan kaum laki-laki.
Isbal-nya pakaian laki-laki adalah
di bawah mata kaki. Sedangkan
isbal-nya pakaian wanita adalah
bila melebihi satu hasta atau dua
jengkal. Sebagaimana dijelaskan di
dalam hadits bahwa Rasulullah
membatasi panjang pakaian
wanita hanya boleh ditambah satu
hasta atau dua jengkal, tidak boleh
lebih.
Saat ini banyak kita dapati model
pakaian wanita ala Barat, misalnya
saja pakaian pengantin. Bagian
atas
ketat dan membuka aurat, tapi
anehnya bagian bawahnya justru
sampai bermeter-meter
panjangnya!! Betapa banyak
kesalahan yang terdapat dalam
model pakaian semacam ini.
Pertama, Tidak menutup aurat.
Kedua, Isbal. Ketiga, merupakan
pemborosan dan perbuatan yang
sia-sia. Keempat, menyerupai
(tasyabuh) orang kafir.
Cara Membersihkan Ujung Pakaian
Wanita
Jika kini pada dirimu timbul
pertanyaan, “Lalu bagaimana
membersihkan ujung pakaian
wanita? Bukankah dengan
ukurannya yang panjang
menjadikan pakaian tersebut besar
kemungkinannya terkena najis di
jalan?”
Islam agama yang kamil
(sempurna) dan syamil (lengkap)
yang menjelaskan setiap urusan
secara detail, sehingga kita akan
mengetahui berbagai solusi dari
permasalahan yang kita hadapi
dan
belum kita ketahui. Ini sebagai
bentuk kemudahan Islam.
Berkaitan mengenai cara
membersihkan ujung pakaian
wanita, maka simaklah hadiah
nabawiyah berikut ini.
Dari seorang ibu putra Ibrahim bin
Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ia
pernah bertanya kepada Ummu
Salamah istri Nabi shallallahu
‘alaihi
wa sallam, ‘Sesungguhnya aku
adalah seorang perempuan yang
biasa memanjangkan (ukuran)
pakaianku dan (kadang-kadang)
aku berjalan di tempat kotor?’
maka Jawab Ummu Salamah,
bahwa Nabi pernah bersabda,
“Tanah selanjutnya menjadi
pembersihnya.” (HR. Ibnu Majah,
Imam Malik dan Tirmidzi. Hadits
shahih)
Namun, ada hal yang harus ukhty
perhatikan dan pahami. Bahwa
ketentuan yang disebutkan hadits
di atas hanya berlaku untuk najis
yang kering. Ketentuan ini tidak
berlaku jika najisnya adalah najis
yang basah atau cair.
Imam Malik berkata,
“Sesungguhnya sebagian tanah
membersihkan sebagian yang lain.
Hal ini berlaku apabila kita
menginjak tanah yang kotor,
kemudian setelah itu menginjak
tanah bersih dan kering, maka
tanah yang bersih dan kering
inilah
yang akan menjadi pembersihnya.
Adapun najis seperti air kencing
dan semisalnya yang mengenai
pakaian/ jasad maka harus
dibersihkan dengan air.” Al
Khathabi berkata. “Dan ummat
sepakat dalam hal ini.”
Lebih jauh, Imam Syafi’i
menjelaskan, bahwa ketentuan
berlaku apabila najis yang diinjak
adalah najis yang kering sehingga
tidak ada najis yang melekat
padanya. Maksudnya, najis tidak
terlihat jelas secara fisik melekat
pada pakaian (tanah telah
menyucikannya). Apabila najis
yang
diinjak adalah najis yang basah,
maka harus tetap dibersihkan
dengan air hingga bersih.
Lalu, bagian mana yang harus
dibersihkan. Apakah hanya pada
bagian yang terkena najis saja
ataukah seluruh pakaian?
Ukhty, pada asalnya yang wajib
dibersihkan adalah hanya pada
bagian yang terkena najis. Tidak
harus dicuci semua.
Sebagian orang beranggapan
bahwa bila suatu bagian pakaian
terkena najis maka seluruh
pakaian
harus dibersihkan. Ini adalah
anggapan yang tidak benar. Cukup
bagian yang terkena najis saja. Jika
sudah secara maksimal dibersihkan
tetapi masih tetap tersisa, maka
insya Allah tidak mengapa.
Semoga dengan penjelasan di atas
kini para muslimah dapat
mengetahui dan mengamalkan
beberapa hukum berkaitan
pakaian
wanita. Allah dan Rasul-Nya telah
menjelaskan pada kita mengenai
najis, barang yang terkena najis
dan bagaimana cara
membersihkannya. Oleh karena itu,
hendaklah para muslimah benar-
benar mengilmui masalah ini.
Tidak
hanya sebatas masalah pakaian,
tetapi jagalah juga diri dan
lingkungan sekitar dari barang
najis maupun barang-barang kotor
yang bukan najis.
Jangan sampai muncul anggapan
bahwa wanita muslimah adalah
sosok yang tidak mengerti dan
tidak peduli masalah kebersihan.
Bukankah wanita juga yang
mengurus sandang-papan bagi
suami dan anak-anaknya. Jika kita
sendiri tak mengerti, lalu
bagaimana keadaan keluarga dan
rumah kita nantinya?
Ukhty, mari kita niatkan setiap
amal kita untuk mencari wajah
Allah dan mengikuti sunnah Rasul-
Nya. Bukan sekedar karena
berprinsip “saya suka kebersihan.”
Tapi mari cintai dan wujudkan
keindahan dan kebersihan karena
mengharap ridha Allah.
Maraji’:
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul
‘Azhim bin Badawi al Khalafi
(pustaka As Sunnah)
Ensiklopedi Fiqih Wanita, jilid 2,
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid
Salim (Pustaka Ibnu Katsir)
Kajian Al Wajiz oleh ustadz Abu
Ukkasyah Aris Munandar,
November 2008
Kajian Al Wajiz oleh ustadz
Muslam, tahun 2004
Qutufun minasy Syamailil
Muhammadiyah wal Akhlaqun
Nabawiyah wal Adabil Islamiyah,
Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu

Rezeki Semua Mahluk Telah Allah Tanggung

Kisah Muslim – Diriwayatkan
bahwa seorang laki-laki duduk
di bawah pohon kurma.
Kemudian dia terlentang
dengan merebahkan
punggungnya. Tiba-tiba dia
melihat burung pipit yang di
mulutnya terdapat buah,
terbang dari pohon kurma yang
berbuah ke pohon lain yang
tidak berbuah. Dia melihat
burung tersebut melakukan ini
berulang-ulang. Dia pun heran
terhadapnya. Dia berkata dalam
hati, “Sungguh, saya akan
memanjat pohon ini, agar saya
tahu apa yang terjadi.” Lalu dia
memanjat pohon. Ternyata dia
melihat di dalam pelepah pohon
kurma ada seekor ular buta
yang membuka mulutnya.
Sedangkan burung pipit
menjatuhkan buah di mulut ular
tersebut. Dia pun merasa takjub
dengan kejadian ini dan berkata,
“Maha Benar Allah yang telah
berfirman:
“Dan tidak satu pun makhluk
bergerak (bernyawa) di bumi
melainkan semuanya dijamin
Allah rezekinya.” (QS. Hud: 6)
Diceritakan bahwa Ibnu Absyadz
an-Nahwi suatu hari sedang
berada di atap Masjid Jami Mesir.
Dia makan suatu makanan. Di
sisinya terdapat banyak orang.
Lalu seekor kucing mendatangi
mereka. Lantas mereka
memberikan sesuap makanan
kepada kucing tersebut. Kucing
itu pun mengambil dengan
mulutnya dan pergi
meninggalkan mereka.
Kemudian kucing tersebut
kembali lagi, lalu mereka
melemparkan kepadanya
makanan lain. Lantas kucing itu
pun melakukan hal yang sama
sampai berulang-ulang. Setiap
kali mereka melemparkan
makanan, kucing itu
mengambilnya, lalu pergi,
kemudian kembali lagi seketika.
Sehingga, mereka merasa heran
dengan kucing tersebut. Mereka
yakin bahwa makanan semisal
itu tidak mungkin dimakan si
kucing sendirian karena terlalu
banyak.
Ketika mereka penasaran
dengan kejadian tersebut, maka
mereka mengikuti kucing.
Ternyata mereka mendapatinya
naik ke atas dinding di atap
Masjid Jami, kemudian ia turun
ke tempat yang searah
dengannya di antara
reruntuhan. Ternyata di
dalamnya terdapat kucing lain
yang buta. Semua makanan
yang diambil si kucing dibawa
kepada kucing yang buta
tersebut dan diletakkan di
hadapannya, lalu kucing buta
memakannya. Mereka pun
takjub dengan kejadian ini. Lalu
Ibnu Absyadz berkata, “Jika
untuk binatang buta ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala
menundukkan kucing ini
untuknya. Kucing ini memenuhi
kecukupannya dan tidak
menghalangi rezekinya, maka
bagaimana mungkin Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyia-
nyiakan orang semisal aku?”
Sumber: Hiburan Orang-orang
Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata
dan Penuh Hikmah, Pustaka
Arafah Cetakan 1
Artikel www.KisahMuslim.com

Shafiyyah binti Abdul Muththalib Bibi Rasulullah

Shafiyyah binti Abdul Muththalib Bibi Rasulullah

Begitu banyak kemuliaan dan keutamaan yang disandangnya. Barangkali kemuliaan tertinggi yang sedang diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadanya –setelah nikmat Iman dan Islam– adalah kedudukannya sebagai bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masuk Islam—menurut pendapat yang kuat. Di samping itu. Dia adalah ibunda Hawari (penolong) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, salah satu dari sepuluh orang yang dijamin masuk Surga. Cukuplah semua itu sebagai kemuliaan bagi Shafiyyah.
Namun ternyata tidak hanya sampai di situ. Namanya dalam sejarah makin berkilau laksana permata yang ditimpa cahaya matahari setelah para sejarawan menggelarinya sebagai wanita pertama yang berhasil membunuh orang musyrik.
Ia terlahir dari keluarga terpandang dan disegani. Ayahnya adalah Abdul Muththalib, seorang pembesar Quraisy dan ibunya adalah Halah binti Wahab, bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari jalur ibu yang notabene juga dikenal sebagai keluarga terpandang. Pernikahannya yang pertama adalah dengan Al-Harits bin Harb bin Umaiyah, saudara Abu Sufyan pemimpin Bani Umaiyah. Setelah Al-Harits meninggal, saudara Ummul Mukminin Khadijah. Dan darinya terlahir Zubair dan Sa’ib.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam seabgai rasul, banyak kaum Quraisy yang menentang dan sedikit sekali yang menerima dakwahnya, baik dari kerabat maupun yang lainnya. Dan ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan ayat,
Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (QS. Asy-Syu’aro: 214)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kepada semua kerabatnya yang tua, muda, laki-laki, dan wanita. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke bukit Shofa dan berseru, “Wahai Fathmah binti Muhammad! Wahai Shafiyyah binti Abdul Muththalib! Wahai Bani Abdul Muththalib! Aku tidak mampu menolong kalian dari adzab Allah sedikitpun, (Jika kalian menghendaki sesuatu dariku maka, red.) mintalah hartaku sesuka kalian.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kemudian bergabunglah Shafiyyah radhiallahu’anha dalam bahtera Islam bersama putranya Zubair bin Awwam radhiallahu’anhu dan orang-orang pertama memeluk Islam, berlayar menghadang ombak dan gelombang dengan keimanan dan keyakinan menuju keridhaan Allah dan Rasul-Nya, berjuang menghadapi penentangan kaum Quraisy. Kemudian dia hijrah bersama putranya ke Madinah, meninggalkan kampung halaman dan segala kemungkinan yang hakiki.
Dalam kehidupan Shafiyyah radhiallahu’anha ada dua peristiwa besar yang tak luput dari goresan tinta emas sejarah. Yang pertama tentang ketegaran dan kesabarannya pada Perang Uhud, dan yang kedua adalah keberanian dan kepahlawanannya pada Perang Khandaq. Marilah kita ikuti kisahnya satu persatu.

Peristiwa Pertama

Yaitu pada saat Perang Uhud. Walaupun telah berusia lebih kurang 56 tahun, Shafiyyah tetap bersemangat untuk bergabung bersama para wanita kaum muslimin untuk membantu merawat para mujahid yang terluka dan mengambilkan air minum, dan memperbaiki panah. Perang terus bergejolak, kemenangan awalnya berada di pihak kaum muslimin berbalik menjadi kekalahan disebabkan tidak taatnya sekelompok kaum muslimin kepada perintah Rasulullah.
Melihat kekalahan di barisan kaum muslimin, serta diserangnya Rasulullah oleh kaum musyrikin, akhirnya Shafiyyah pun ikut terjun ke medan perang dengan bersenjatakan tombak. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat Shafiyyah mendekati jasad saudara kandungnya –Singa Allah-, Hamzah bin Abdul Muththalib, yang dibunuh oleh kaum musyrikin secara sadis, beliau memerintahkan kepada Zubair untuk menjauhkan ibunya dari tempat itu. Akan tetapi, dengarlah jawaban wanita mukminah yang sabar ini, “Mengapa (aku tidak boleh melihatnya), aku telah mendengar saudaraku telah dibunuh secara sadis, dan itu di jalan Allah…”
Subhanallah! Seakan ia ingin berkata, “Semua musibah yang terjadi, bila itu di jalan-MU ya Allah, aku rela dan ikhlas. Tak mengapa bagiku melihat jasad saudaraku yang dibelah perutnya, diambil jantungnya, hidung dan telinganya dipotong demi membela agama-Mu ya Allah, aku rela dan sabar, karena aku tahu bahwa Engkau akan menempatkannya pada sebaik-baik tempat di sisi-Mu.”
Akhirnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan Shafiyyah melihat jasad Hamzah dan menyolatinya.

Peristiwa Kedua

Yaitu ketika terjadinya Perang Khandaq. Setiap kali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi berperang selalu meninggalkan para wanita, orang tua, dan anak-anak di tempat yang aman. Dan pada saat Perang Khandaq, mereka dititipkan di benteng Hasan bin Tsabit yang bangunannya terletak di tempat yang tinggi dan berpagar kuat. Di sanalah Shafiyyah dan para wanita yang lain dititipkan bersama Hasan sang pemilik benteng yang ditugaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menjaga mereka.
Di saat kaum muslimin sibuk di Khandaq, kaum Yahudi dari bani Quroizhah yang telah melanggar perjanjian dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seorang dari mereka untuk memata-matai para wanita. Apabila tidak ada laki-laki yang melindungi mereka, maka mereka akan dijadikan tawanan, dan bila hal itu terlaksana maka akan menjadi pukulan hebat terhadap kaum muslimin.
Melihat ada orang yang mengendap-endap mendekati benteng, Shafiyyah berkata kepada Hasan bin tsabit, “Pergilah dan bunuh orang itu!” Hasan menjawab, “Wahai binti Abdul Muththalib, engkau tahu bahwa aku tidak berani melakukannya.”
Mendengar jawaban Hasan, Shaifyyah berpaling dan pergi mengambil sebuah tiang lalu keluar dari benten. Diam-diam ia memukul kepala orang Yahudi itu dengan tiang tersebut sampai mati. Kemudian ia kembali ke benteng dan menemui Hasan bin Tsabit sambil berkata, “Penggallah kepala Yahudi itu dan buanglah ke bawah!” Namun jawaban Hasan tetap sama seperti semula, “Aku tidak berani.”
Keluarlah Shafiyyah dan memenggal sendiri kepala Yahudi itu dan melemparnya ke bawah bukit. Melihat kepala temannya menggelinding turun dari atas benteng, nyali orang-orang Yahudi menjadi ciut dan berkata, “Sekarang kami tahu bahwa orang ini (maksudnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam) tidak akan meninggalkan keluarganya tanpa ada yang menjaga mereka.” Pada masa kekholifahan Umar bin Khaththab, yaitu tahun ke-20 H, Shafiyyah radhiallahu’anhu wafat dan dimakamkan di Baqi’ Ghargqad.
Semoga Allah meridhainya dan menempatkannya di Surga Firdaus.
Sumber: Majalah Al-Mawaddah, Edisi 11 Tahun ke-1 Jumadal Tsaniyah 1429/Juni 2008
Artikel www.KisahMuslim.com

Seorang Wanita Menasehati Sang Alim

Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” Lalu dikatakan, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para kaum muslimin, dan seluruh kaum muslimin.”
Memang benar, sebuah nasihat akan banyak membawa manfaat apabila nasihat tersebut bersumber dari ilmu yang terambil dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Namun, sebuah nasihat yang tidak berlandaskan ilmu, justru akan membawa malapetaka dan kehancuran, karena pada hakikatnya hal itu bukanlah nasihat, melainkan bisikan-bisikan dan was-was setan. Masalahnya, apakah sebuah nasihat hanya boleh dilakukan oleh kaum laki-laki saja dan tidak mungkin dilakukan oleh kaum wanita?
berikut ini menunjukkan, bahwa kaum Hawa pun dapat memberikan andil dalam memberikan nasihat dan amar ma’ruf nahi munkar sesuai dengan kemampuan mereka. Semoga bermanfaat. Allahul-Muwaffiq.
Alkisah
Imam Malik rahimahullah meriwayatkan sebuah kisah dalam kitab al-Muwaththa, dari Yahya bin Sa’id dari al-Qasim bin Muhammad, bahwa dia berkata, “Salah satu istriku meninggal dunia, lalu Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi mendatangiku untuk bertakziah atas (kematian) istriku, lalu beliau mengatakan,
‘Sesungguhnya, dahulu di zaman Bani Israil ada seorang laki-laki yang faqih, alim, abid, dan mujtahid. Dia memiliki seorang yang sangat ia kagumi dan cintai. Lalu meninggallah sang tersebut, sehingga membuat hatinya sangat sedih. Dia merasa sangat berat hati menerima kenyataan tersebut, sampai-sampai ia mengunci pintu, mengurung diri di dalam rumah, dan memutus segala hubungan dengan manusia, sehingga tidak ada seorang pun yang dapat bertemu dengannya.
Lalu ada seorang wanita cerdik yang mendengar berita tersebut, maka dia pun datang ke rumah Sang Alim seraya mengatakan kepada manusia, “Sungguh, saya sangat memerlukan fatwa darinya dan saya tidak ingin mengutarakan permasalahan saya, melainkan harus bertemu langsung dengannya.” Akan tetapi, semua manusia tidak ada yang menghiraukannya. Walau demikian, ia tetap berdiri di depan pintu menunggu keluarnya Sang Alim. Dia berujar, ‘Sungguh, saya sangat ingin mendengarkan fatwanya. Lalu, salah seorang menyeru, ‘(Wahai Sang Alim) sungguh di sini ada seorang wanita yang sangat menginginkan fatwamu.’ Dan wanita itu menambahkan, ‘Dan aku tidak ingin mengutarakannya melainkan harus bertemu langsung dengannya tanpa ada perantara.’ Akan tetapi, manusia pun tetap tidak menghiraukannya. Meski demikian, dia tetap berdiri di depan pintu dan tidak mau beranjak.
Akhirnya, Sang Alim menjawab, ‘Izinkanlah dia masuk.’ Lalu, wanita itu pun masuk dan mengatakan, “Sungguh, aku datang kepadamu karena suatu pemasalahan.’ Sang Alim menjawab, “Apakah pemasalahanmu?’ Wanita memaparkan, “Sungguh, aku telah meminjam perhiasan kepada salah satu tetanggaku dan aku selalu memakainya sampai beberapa waktu lamanya, lalu suatu ketika mereka mengutus seseorang kepadaku untuk mengambil kembali barang itu kepadanya?’ Maka, Sang Alim menjawab, ‘Iya, demi Allah, engkau harus memberikan kepada mereka.’ Lalu sang wanita menyangkal, ‘Tetapi, aku telah memakainya sejak lama sekali.’ Sang Alim menjawab, ‘Tetapi mereka lebih berhak untuk mengambil kembali barang yang telah dipinjamkan kepadamu sekalipun telah sejak lama.’ Lalu, wanita itu mengatakan, ‘Wahai Sang Alim, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu. Mengapakah engkau juga merasa berat hati untuk mengembalikan sesuatu yang telah dititipkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepadamu, lalu Allah Subhanahu wa Ta’ala ingin mengambil kembali titipan-Nya, sedang Dia lebih berhak untuk mengambilnya darimu?’ Maka, dengan ucapan itu tersadarlah Sang Alim atas peristiwa yang sedang menimpanya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjadikan perkataan si wanita tersebut dapat bermanfaat dan menggugah hatinya.
Kisah di atas diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa dalam kitab al-Jana’iz Bab Jami’ul-Hasabah fil-Mushibah (163).
Syaikh Syu’aib al-Arna’uth dalam tahqiq beliau terhadap kitab Jami’ul-Ushul (6/339) berkata, “Kisah di atas sampai kepada Muhammad bin Ka’ab al-Qurazhi dengan sanad shahih.”
Ibrah

Musibah adalah ujian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sebagai pengukur keimanan hamba. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَا أَخْبَارِكُمْ
Dan sesungguhnya, Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu.” (Qs. Muhammad: 31).
Kesabaran sangat dibutuhkan tatkala kita dilanda musibah. Kewajiban setiap muslim ketika mendapat musibah ialah mengharap kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala pahala dan ganti yang lebih baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita membaca doa tatkala tertimpa suatu musibah. Beliau mengatakan,
مَا مِنْ مُسْلِمٍ تُصِيْبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ مَا أَمَرَهُ اللهُ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ اللَّهُمَّ أَجِرْنِي مِصِيْبَتِي وَأَخْلِفُ لِي خَيْرًا مِنْهَا إِلاَّ أَخْلَفَ اللهُ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا
Tidaklah seorang muslim yang tertimpa suatu musibah lalu membaca sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah (yaitu), ‘Sesungguhnya kami milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kepada-Nya jualah kita akan dikembalikan. Ya Allah, berilah pahala pada musibah yang menimpaku dan berilah ganti yang lebih baik darinya’ melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberinya ganti yang lebih baik daripada yang sebelumnya.’” (HR. Musim, 4/475, at-Tirmidzi, 11/417, Ahmad, 33/82).
Dengan demikian, sungguh sangatlah indah perkara yang terjadi pada diri seorang muslim. Karena semua perkara yang menimpanya –berupa kenikmatan maupun kesulitan, kelapangan maupun musibah— semuanya adalah baik baginya, sebagaimana yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sifatkan dalam sabdanya,
عَجَبًا لأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ لِلْمُؤْمِنِ إِنَّ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Sungguh mengherankan perkara (urusan) orang muslim, semua perkara (urusan)nya baik dan hal itu tidaklah terjadi kecuali pada diri seorang muslim. (HR. Muslim. 14/280).
Beratnya cobaan sering menjadikan manusia lupa dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kita semua adalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan kepada-Nya pulalah kita akan dikembalikan. Namun, kebanyakan manusia tidak menyadari hal ini, sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syariat. Mereka berlarut-larut dalam kesedihan, sehingga melalaikan dirinya sendiri. Bahkan, terkadang mereka berteriak-teriak histeris, memukul-mukul wajah, merobek-robek baju, dan mengeluarkan ucapan-ucapan yang dilarang oleh syariat, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُودَ وَشَقَّ الْجُيُوبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ
Bukan termasuk golongan kami seorang yang menampar-nampar pipi, merobek-robek baju, dan menyeru dengan seruan-seruan jahiliah.” (HR. Bukhari, 5/41, at-Tirmidzi, 4/119, an-Nasa’i, 6/408).
Bersedih adalah suatu kewajaran terutama karena ditinggal oleh orang-orenga yang sangat dicintai. Akan tetapi, janganlah kesedihan tersebut melampaui batas dari yang dibolehkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعَ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يُرْضِي رَبَّنَا
Mata boleh menangis, hati boleh bersedih, tetapi kita tidak berkata-kata kecuali hanya (dengan perkataan) yang diridhai oleh Rabb (Tuhan –ed.) kita.” (HR. al-Bukhari: 5/57).
Memang, setang sangatlah lihai dalam mencari celah untuk menjerumuskan anak Adam. Dari sinilah pentingnya saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (Qs. adz-Dzariyat: 55).
Hanya saja, cara kita memberikan nasihat harus benar-benar diperhatikan. Cara menasihati seorang waliyul-amri (penguasa) berbeda dengan cara menasihati rakyat. Menasihati orang tua berbeda dengan cara menasihati anak kita sendiri. Demikian pula, cara menasihati seorang yang alim yang memiliki pengaruh dan ucapan yang didengar oleh masyarakat hendaklah berbeda dengan cara kita menasihati seorang yang awam. Hendaklah menasihati dengan cara yang lembut, dengan kata-kata yang halus, dan tidak dilakukan di depan khalayak ramai, sebagaimana yang telah dilakukan wanita tersebut. Mudah-mudahan dengan itu mereka akan tersadar dan kembali pada jalan yang benar. Karena, seorang alim bukanlah orang yang ma’shum yang terbebas dari kesalahan. Mereka pun manusia biasa yang banyak melakukan kesalahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاؤٌ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُونَ
Setiap anak Adam banyak melakukan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berbuat kesalahan adalah yang bertaubat darinya.” (HR. at-Tirmidzi, 9/59, Ibnu Majah, 12/302, Ahmad, 26/123).
Mutiara Kisah

Beberapa pejalaran penting yang dapat kita rangkum dari kisah di atas adalah:
1.      Terkadang seorang ahlul ilmi dapat lupa dan lalai dari ilmu yang selama ini ia ajarkan. Sebagaimana kisah Sang Alim yang faqih di atas, dia telah lupa terhadap apa yang selama ini selalu dia ajarkan tentang wajibnya seorang untuk tetap bersabar di kala terkena musibah.
2.      Kewajiban bagi para ahlu ra’yi dan yang siapa saja yang memiliki pemahaman, hendaklah mengingatkan saudaranya yang lain dari hal-hal yang terkadang terlalaikan darinya. Dan hal ini tidak terbatas hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, melainkan kaum wanita pula apabila memang memiliki kemampuan dalam hal tersebut. Tentunya hal itu dilakukan apabila aman dari fitnah dan tidak melanggar larangan dan keharaman Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti yang telah dilakukan oleh wanita dalam kisah di atas yang dapat menyadarkan kembali seorang alim yang tengah lalai dari peristiwa besar yang menimpanya.
3.      Ilmu dan pemahaman adalah titik temu yang menjadi persamaan antara laki-laki dan wanita, karena ilmu bukanlah hak yang dimonopoli oleh kaum laki-laki saja. Kaum wanita pun berhak mengenyam ilmu dan pemahaman. Bahkan, kejadian-kejadian yang terjadi pada diri seorang wanita menuntut mereka untuk lebih mengilmui hukum-hukum syariat. Thaharoh (bersuci), mendidik anak, dan lain-lain adalah permasalahan yang sangat membutuhkan ilmu dan pemahaman yang benar.
4.      Pentingnya membuat suatu permisalan dalam menjelaskan suatu permasalahan, karena sebuah contoh dapat menggambarkan suatu masalah dengan lebih jelas. Dan ini pulalah metode al-Qur’an dalam menjelaskan sebuah permasalahan. Perhatikanlah ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menjelaskan tentang kalimat tauhid dan kalimat-kalimat kekufuran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَآءِ {24} تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللهُ اْلأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ {25} وَمَثَلُ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ كَشَجَرَةٍ خَبِيثَةٍ اجْتُثَّتْ مِن فَوْقِ اْلأَرْضِ مَالَهَا مِن قَرَارٍ
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Rabb-nya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat: Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dengan akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (Qs. Ibrahim: 24-26).
5.      Disenangi menghibur manusia dengan menyebutkan kabar-kabar orang-orang terdahulu dan kisah-kisah berharga yang sarat dengan pelajaran. Terlebih apabila kisah-kisah tersebut bersesuaian dengan keadaan orang yang sedang diberi nasihat, karena metode yang demikian akan lebih menggugah hatinya dan menyadarkan dari kelalaiannya sehingga ia dapat terhibur dan mengambil pelajaran dari kisah-kisah tersebut.
Wallahu A’lam.
Sumber: Majalah Al Furqon, Edisi 4 th. ke-8 1429 H/2008
Artikel www.KisahMuslim.com dengan pengubahan tata bahasa seperlunya.

Ujung Pakaianku Menyapu Jalanan ??

Penulis: Ummu Rumman
Muraja’ah: Ustadz Nur Kholis
Kurdian, Lc dan Ustadz Abu
Ukkasyah Aris Munandar
Apa yang spontan terpikir di benak
kita ketika melihat seorang
muslimah yang memakai jilbab
besar dan cadar, ditambah lagi
pakaian yang lebar dan
panjangnya
sampai menyentuh tanah?? Oke,
kita tak sedang membahas
mengenai hukum jilbab dan cadar.
Insya Allah masalah ini dapat
ukhty
temukan pembahasannya pada
tulisan lain. Tapi kita tengah
berbicara tentang panjang pakaian
sang muslimah yang sampai
menyentuh tanah.
“Mbak, mau nyapu jalan ya? Itu lho
gamisnya kepanjangan, sampai ke
tanah.”
“Sudah lebar, panjang pula. Apa ga
kotor? Kalau kena najis di jalan
gimana? Ga sah donk kalau
pakaiannya dipakai sholat.”
“Iiiih… Jadi muslimah kok jorok
sih?
mbo’ panjangnya yang biasa aja.
Ga
usah berlebihan. Biar ga kotor…”
Ukhty, sering mendengar
komentar
semacam ini bukan?
Namun di sisi lain, kita temukan
pula para wanita yang masih
meremehkan masalah menutup
aurat. Kaki, bagian tubuh wanita
yang seharusnya ditutup justru
digembor-gemborkan agar
dijadikan salah satu daya pikat
kecantikan wanita. Semakin
pendek pakaian, semakin menarik,
begitu anggapan mereka. Bahkan
rok pendek dan rok mini menjadi
bagian dari fashion model baju
wanita. Wal iyaudzubillah.
Lalu, sepanjang apakah seharusnya
pakaian wanita menurut syariat??
Anjuran Bagi Wanita untuk
Memanjangkan Kain Pakaiannya
Ya Ukhty fillah, telah engkau
ketahui bahwa wajib hukumnya
bagi wanita untuk menutup
auratnya. Dan termasuk bagian
dari
aurat yang harus engkau tutup
adalah kakimu.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menerangkan mengenai
bagian bawah pakaian, Ummu
Salamah radhiyallahu ‘anha
berkata
kepada Rasulullah, “Lalu
bagaimana dengan pakaian
seorang wanita wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Hendaklah ia
mengulurkannya satu jengkal,”
Ummu Salamah berkata, ‘Jika
demikian masih tersingkap ” Satu
hasta saja dan jangan lebih dari
itu,” jawab beliau. (HR. At Tirmidzi.
Hadits hasan shahih)
Dari hadits di atas dapat ditarik
dua
kesimpulan, yaitu:
Pertama, bahwa seorang wanita
wajib menutup kedua telapak
kakinya dengan pakaiannya.
Kedua, boleh hukumnya
memanjangkan pakaian bagi
seorang wanita dengan ukuran
sebagaimana telah dijelaskan
hadits di atas.
Dari mana diukurnya satu jengkal
di mana seorang wanita
memanjangkan pakaiannya?
Dalam hal ini ada perbedaan
pendapat di kalangan ulama satu
jengkal itu diukur dari mana. Akan
tetapi, pendapat yang kuat -insya
Allah- satu jengkal adalah diukur
dari mata kaki. Karena inilah
Ummu
Salamah berkata, “Jika demikian,
kedua kakinya masih tersingkap,”
lalu Rasulullah memberikan
keringanan dengan satu hasta.
Para ulama telah bersepakat
bolehnya seorang wanita
memanjangkan pakaiannya di
bawah mata kaki. Hal ini berbeda
dengan kaum laki-laki di mana
mereka mendapat ancaman keras
bila memanjangkan pakaiannya di
bawah mata kaki.
Sebagaimana kaum laki-laki, kaum
wanita pun dilarang isbal. Akan
tetapi ukuran isbal pakaian wanita
berbeda dengan kaum laki-laki.
Isbal-nya pakaian laki-laki adalah
di bawah mata kaki. Sedangkan
isbal-nya pakaian wanita adalah
bila melebihi satu hasta atau dua
jengkal. Sebagaimana dijelaskan di
dalam hadits bahwa Rasulullah
membatasi panjang pakaian
wanita hanya boleh ditambah satu
hasta atau dua jengkal, tidak boleh
lebih.
Saat ini banyak kita dapati model
pakaian wanita ala Barat, misalnya
saja pakaian pengantin. Bagian
atas
ketat dan membuka aurat, tapi
anehnya bagian bawahnya justru
sampai bermeter-meter
panjangnya!! Betapa banyak
kesalahan yang terdapat dalam
model pakaian semacam ini.
Pertama, Tidak menutup aurat.
Kedua, Isbal. Ketiga, merupakan
pemborosan dan perbuatan yang
sia-sia. Keempat, menyerupai
(tasyabuh) orang kafir.
Cara Membersihkan Ujung Pakaian
Wanita
Jika kini pada dirimu timbul
pertanyaan, “Lalu bagaimana
membersihkan ujung pakaian
wanita? Bukankah dengan
ukurannya yang panjang
menjadikan pakaian tersebut besar
kemungkinannya terkena najis di
jalan?”
Islam agama yang kamil
(sempurna) dan syamil (lengkap)
yang menjelaskan setiap urusan
secara detail, sehingga kita akan
mengetahui berbagai solusi dari
permasalahan yang kita hadapi
dan
belum kita ketahui. Ini sebagai
bentuk kemudahan Islam.
Berkaitan mengenai cara
membersihkan ujung pakaian
wanita, maka simaklah hadiah
nabawiyah berikut ini.
Dari seorang ibu putra Ibrahim bin
Abdurrahman bin ‘Auf bahwa ia
pernah bertanya kepada Ummu
Salamah istri Nabi shallallahu
‘alaihi
wa sallam, ‘Sesungguhnya aku
adalah seorang perempuan yang
biasa memanjangkan (ukuran)
pakaianku dan (kadang-kadang)
aku berjalan di tempat kotor?’
maka Jawab Ummu Salamah,
bahwa Nabi pernah bersabda,
“Tanah selanjutnya menjadi
pembersihnya.” (HR. Ibnu Majah,
Imam Malik dan Tirmidzi. Hadits
shahih)
Namun, ada hal yang harus ukhty
perhatikan dan pahami. Bahwa
ketentuan yang disebutkan hadits
di atas hanya berlaku untuk najis
yang kering. Ketentuan ini tidak
berlaku jika najisnya adalah najis
yang basah atau cair.
Imam Malik berkata,
“Sesungguhnya sebagian tanah
membersihkan sebagian yang lain.
Hal ini berlaku apabila kita
menginjak tanah yang kotor,
kemudian setelah itu menginjak
tanah bersih dan kering, maka
tanah yang bersih dan kering
inilah
yang akan menjadi pembersihnya.
Adapun najis seperti air kencing
dan semisalnya yang mengenai
pakaian/ jasad maka harus
dibersihkan dengan air.” Al
Khathabi berkata. “Dan ummat
sepakat dalam hal ini.”
Lebih jauh, Imam Syafi’i
menjelaskan, bahwa ketentuan
berlaku apabila najis yang diinjak
adalah najis yang kering sehingga
tidak ada najis yang melekat
padanya. Maksudnya, najis tidak
terlihat jelas secara fisik melekat
pada pakaian (tanah telah
menyucikannya). Apabila najis
yang
diinjak adalah najis yang basah,
maka harus tetap dibersihkan
dengan air hingga bersih.
Lalu, bagian mana yang harus
dibersihkan. Apakah hanya pada
bagian yang terkena najis saja
ataukah seluruh pakaian?
Ukhty, pada asalnya yang wajib
dibersihkan adalah hanya pada
bagian yang terkena najis. Tidak
harus dicuci semua.
Sebagian orang beranggapan
bahwa bila suatu bagian pakaian
terkena najis maka seluruh
pakaian
harus dibersihkan. Ini adalah
anggapan yang tidak benar. Cukup
bagian yang terkena najis saja. Jika
sudah secara maksimal dibersihkan
tetapi masih tetap tersisa, maka
insya Allah tidak mengapa.
Semoga dengan penjelasan di atas
kini para muslimah dapat
mengetahui dan mengamalkan
beberapa hukum berkaitan
pakaian
wanita. Allah dan Rasul-Nya telah
menjelaskan pada kita mengenai
najis, barang yang terkena najis
dan bagaimana cara
membersihkannya. Oleh karena itu,
hendaklah para muslimah benar-
benar mengilmui masalah ini.
Tidak
hanya sebatas masalah pakaian,
tetapi jagalah juga diri dan
lingkungan sekitar dari barang
najis maupun barang-barang kotor
yang bukan najis.
Jangan sampai muncul anggapan
bahwa wanita muslimah adalah
sosok yang tidak mengerti dan
tidak peduli masalah kebersihan.
Bukankah wanita juga yang
mengurus sandang-papan bagi
suami dan anak-anaknya. Jika kita
sendiri tak mengerti, lalu
bagaimana keadaan keluarga dan
rumah kita nantinya?
Ukhty, mari kita niatkan setiap
amal kita untuk mencari wajah
Allah dan mengikuti sunnah Rasul-
Nya. Bukan sekedar karena
berprinsip “saya suka kebersihan.”
Tapi mari cintai dan wujudkan
keindahan dan kebersihan karena
mengharap ridha Allah.
Maraji’:
Al Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal
Kitabil ‘Aziz (Terj.), Syaikh ‘Abdul
‘Azhim bin Badawi al Khalafi
(pustaka As Sunnah)
Ensiklopedi Fiqih Wanita, jilid 2,
Abu Malik Kamal bin as-Sayyid
Salim (Pustaka Ibnu Katsir)
Kajian Al Wajiz oleh ustadz Abu
Ukkasyah Aris Munandar,
November 2008
Kajian Al Wajiz oleh ustadz
Muslam, tahun 2004
Qutufun minasy Syamailil
Muhammadiyah wal Akhlaqun
Nabawiyah wal Adabil Islamiyah,
Syaikh Muhammad bin Jamil
Zainu